Friday, April 15, 2011

Untuk Ibu

Kamar kostku, 15 April 2011


Untuk Ibu


            Ibu, tahukah engkau?
            Aku sungguh rindu padamu malam ini. Memikirkan aku akan punya adik bulan Juni mendatang membuatku agak sedikit takut. Takut bahwa mungkin saja rasa sayangmu padaku nanti akan beralih pada adikku.
            Ibu, jangan salah sangka.
            Aku hanya ingin memilikimu seutuhnya. Tak ingin berbagi dengan siapapun. Aku tahu ini egois. Mungkin saja setelah adikku lahir nanti aku akan membencinya untuk beberapa waktu. Atau mungkin juga itu tidak terjadi karena ternyata dia adalah adik yang lucu sekali. Melihat wajah mungil dan tak berdayanya nanti mungkin akan membuatku rela melepas sayang yang engkau beri padaku untuknya.

            Ibu, aku sungguh masih ingat dengan jelas. Dulu, sewaktu aku masih duduk di kelas  2 SD, engkau suka sekali menceritakan padaku dongeng sebelum tidur. Cerita favoritku adalah tentang seorang anak yang kesukaannya adalah mengadu domba. Saat itu aku berpikir,”Bagaimana mungkin seorang anak kecil memiliki kesenangan mengadu domba? Kalo mengadu jangkrik sih, mungkin-mungkin aja. Apa dia nggak takut bakal mati keseret dombanya? Kan domba sama anak kecil jelas lebih besar domba.” Hahaha. Ah, Ibu. Aku tersenyum sendiri membayangkan saat itu. Betapa pikiran anak kecil bekerja sesederhana itu.
             “Ayo dong Maaa ... Ceritaaaaa!” mohonku padamu. Engkau hanya tersenyum kecil sambil memelukku.
            “Mau cerita apa, Nduk?” tanyamu. Malam kian larut. Aku dan engkau, Ibu ... Sudah berada di kasur saat itu, bersiap untuk tidur.
            “Apa aja. Pokoknya cerita!” aku bersemangat sekali akan mendengarkan cerita darimu. Kemudian engkau bercerita dengan lancarnya. Tentang seorang anak yang merusak hubungan dua sahabat baik. Tanganmu bergerak lincah mendeskripsikan tiap kata yang meluncur dari bibirmu.
            “Nah, akhirnya kedua sahabat itu tahu bahwa mereka telah diadu domba oleh teman mereka sendiri. Untunglah mereka tadi mau saling bicara dan mendengarkan. Coba kalau tidak? Persahabatan mereka pasti akan berakhirr dengan kesalahpahaman.”
            “Terus, anak yang ngadu domba itu gimana, Ma?” tanyaku. Otakku masih menerjemahkan mengadu domba sama dengan seorang yang anak sedang mengadu seekor domba.
            “Ya dijauhin sama temen-temennya.”
            “Waa, kasian ya, Ma?” aku memandang wajahmu. Engkau tersenyum lembut sambil mengusap rambutku pelan. Aku merasakan kehangatan yang menenangkan.
            “Makanya, kamu harus punya kelakuan yang baik biar nggak dijauhi teman-temanmu. Paham?” aku mengangguk-angguk. “Nah, sekarang tidurlah. Sudah larut,” katamu. Kemudian engkau memelukku. Tak lama, aku pun terlelap bersamamu.
            Ibu,
            Sebentar lagi usiaku tujuh belas tahun. Jadi, aku akan belajar untuk menjadi dewasa. Menjadi seorang gadis yang bisa membanggakanmu, bukan lagi seorang anak kecil yang hanya bisa membuatmu mengomel karena kesal padaku.
            Engkau selalu memberi kebebasan padaku untuk memilih masa depanku kelak. Engkau memberi kepercayaan penuh padaku atas semua keputusan yang menyangkut diriku. Engkau membiarkanku melakukan apapun yang kusuka asalkan aku bisa menjaga diriku. Aku ingat itu, Ibu. Aku selalu mengingatnya. Aku sungguh bersyukur memiliki Ibu yang mengerti keinginan anaknya untuk tidak selalu dikekang. Kini, semakin jarang kudengar omelanmu untukku. Tak lagi keluar kata-kata keras atas kesalahan yang kuperbuat. Aku pulang sekali dalam dua minggu dan engkau membiarkan aku tidur seharian di kamar karena kelelahan. Engkau tak protes melihat kamarku yang selalu berantakan saat aku pulang.
            “Kamu sudah besar. Sudah tahu mana yang baik dan buruk. Apa yang perlu dan tidak kamu lakukan, kamu bisa memutuskan sendiri. Kan semuanya juga untuk kamu, bukan untuk Mama”
            Ibu, aku tahu itu.
            Aku sangat tahu. Aku sudah besar sekarang. Engkau bahkan tak akan kuat menggendongku seperti dulu. Mungkin engkau berpikir aku tak akan butuh hal-hal berbau anak kecil seperti itu. Karena aku sudah besar. Sudah cukup dewasa untuk memutuskan segala sesuatu tentang hidupku.
            Tapi Ibu, tahukah engkau?
            Satu hal yang aku tak ingin berubah diantara kita adalah ... Engkau yang selalu menganggapku sebagai gadis kecilmu yang masih duduk di kelas 2 SD. Engkau yang selalu menganggapku belum cukup dewasa untuk melakukan semuanya sendiri. Meskipun aku memang harus belajar untuk itu, tapi aku ingin engkau selalu ada untukku. Berpartisipasi dalam setiap keputusan untuk hidupku. Meskipun nanti adikku itu lahir, aku ingin tak ada yang berubah diantara kita.
            Ibu, aku percaya ... Kasihmu sepanjang masa.

0 comments:

Post a Comment

Friday, April 15, 2011

Untuk Ibu

Posted by Chibinaima at 9:40:00 PM
Kamar kostku, 15 April 2011


Untuk Ibu


            Ibu, tahukah engkau?
            Aku sungguh rindu padamu malam ini. Memikirkan aku akan punya adik bulan Juni mendatang membuatku agak sedikit takut. Takut bahwa mungkin saja rasa sayangmu padaku nanti akan beralih pada adikku.
            Ibu, jangan salah sangka.
            Aku hanya ingin memilikimu seutuhnya. Tak ingin berbagi dengan siapapun. Aku tahu ini egois. Mungkin saja setelah adikku lahir nanti aku akan membencinya untuk beberapa waktu. Atau mungkin juga itu tidak terjadi karena ternyata dia adalah adik yang lucu sekali. Melihat wajah mungil dan tak berdayanya nanti mungkin akan membuatku rela melepas sayang yang engkau beri padaku untuknya.

            Ibu, aku sungguh masih ingat dengan jelas. Dulu, sewaktu aku masih duduk di kelas  2 SD, engkau suka sekali menceritakan padaku dongeng sebelum tidur. Cerita favoritku adalah tentang seorang anak yang kesukaannya adalah mengadu domba. Saat itu aku berpikir,”Bagaimana mungkin seorang anak kecil memiliki kesenangan mengadu domba? Kalo mengadu jangkrik sih, mungkin-mungkin aja. Apa dia nggak takut bakal mati keseret dombanya? Kan domba sama anak kecil jelas lebih besar domba.” Hahaha. Ah, Ibu. Aku tersenyum sendiri membayangkan saat itu. Betapa pikiran anak kecil bekerja sesederhana itu.
             “Ayo dong Maaa ... Ceritaaaaa!” mohonku padamu. Engkau hanya tersenyum kecil sambil memelukku.
            “Mau cerita apa, Nduk?” tanyamu. Malam kian larut. Aku dan engkau, Ibu ... Sudah berada di kasur saat itu, bersiap untuk tidur.
            “Apa aja. Pokoknya cerita!” aku bersemangat sekali akan mendengarkan cerita darimu. Kemudian engkau bercerita dengan lancarnya. Tentang seorang anak yang merusak hubungan dua sahabat baik. Tanganmu bergerak lincah mendeskripsikan tiap kata yang meluncur dari bibirmu.
            “Nah, akhirnya kedua sahabat itu tahu bahwa mereka telah diadu domba oleh teman mereka sendiri. Untunglah mereka tadi mau saling bicara dan mendengarkan. Coba kalau tidak? Persahabatan mereka pasti akan berakhirr dengan kesalahpahaman.”
            “Terus, anak yang ngadu domba itu gimana, Ma?” tanyaku. Otakku masih menerjemahkan mengadu domba sama dengan seorang yang anak sedang mengadu seekor domba.
            “Ya dijauhin sama temen-temennya.”
            “Waa, kasian ya, Ma?” aku memandang wajahmu. Engkau tersenyum lembut sambil mengusap rambutku pelan. Aku merasakan kehangatan yang menenangkan.
            “Makanya, kamu harus punya kelakuan yang baik biar nggak dijauhi teman-temanmu. Paham?” aku mengangguk-angguk. “Nah, sekarang tidurlah. Sudah larut,” katamu. Kemudian engkau memelukku. Tak lama, aku pun terlelap bersamamu.
            Ibu,
            Sebentar lagi usiaku tujuh belas tahun. Jadi, aku akan belajar untuk menjadi dewasa. Menjadi seorang gadis yang bisa membanggakanmu, bukan lagi seorang anak kecil yang hanya bisa membuatmu mengomel karena kesal padaku.
            Engkau selalu memberi kebebasan padaku untuk memilih masa depanku kelak. Engkau memberi kepercayaan penuh padaku atas semua keputusan yang menyangkut diriku. Engkau membiarkanku melakukan apapun yang kusuka asalkan aku bisa menjaga diriku. Aku ingat itu, Ibu. Aku selalu mengingatnya. Aku sungguh bersyukur memiliki Ibu yang mengerti keinginan anaknya untuk tidak selalu dikekang. Kini, semakin jarang kudengar omelanmu untukku. Tak lagi keluar kata-kata keras atas kesalahan yang kuperbuat. Aku pulang sekali dalam dua minggu dan engkau membiarkan aku tidur seharian di kamar karena kelelahan. Engkau tak protes melihat kamarku yang selalu berantakan saat aku pulang.
            “Kamu sudah besar. Sudah tahu mana yang baik dan buruk. Apa yang perlu dan tidak kamu lakukan, kamu bisa memutuskan sendiri. Kan semuanya juga untuk kamu, bukan untuk Mama”
            Ibu, aku tahu itu.
            Aku sangat tahu. Aku sudah besar sekarang. Engkau bahkan tak akan kuat menggendongku seperti dulu. Mungkin engkau berpikir aku tak akan butuh hal-hal berbau anak kecil seperti itu. Karena aku sudah besar. Sudah cukup dewasa untuk memutuskan segala sesuatu tentang hidupku.
            Tapi Ibu, tahukah engkau?
            Satu hal yang aku tak ingin berubah diantara kita adalah ... Engkau yang selalu menganggapku sebagai gadis kecilmu yang masih duduk di kelas 2 SD. Engkau yang selalu menganggapku belum cukup dewasa untuk melakukan semuanya sendiri. Meskipun aku memang harus belajar untuk itu, tapi aku ingin engkau selalu ada untukku. Berpartisipasi dalam setiap keputusan untuk hidupku. Meskipun nanti adikku itu lahir, aku ingin tak ada yang berubah diantara kita.
            Ibu, aku percaya ... Kasihmu sepanjang masa.

0 comments on "Untuk Ibu"

Post a Comment

 

Blog Template by YummyLolly.com