Wednesday, April 27, 2011

Pangeran Bintang dan Putri Embun

           Oh, hai! Namaku Putri Embun. Yap. Putri Embun. Ya ampun, jangan melongo begitu, deh! Oke oke, kalau kamu masih aneh mendengar namaku yang asoy itu, aku kenalkan nama asliku ya? Namaku Puspitaning Ayu Putri Kedaton. Oh God. Kamu sungguh keterlaluan! Jangan menertawaiku seperti itu, dong ... Itu benar-benar nama asliku, tahu! Karena namaku kayaknya terlalu panjang (dan eksotik), kamu boleh memanggilku dengan Putri Embun. Lebih enak diucapkan, didengarkan, dan dirasakan bukan? Hohoho.
            Nah, kamu mau tahu lebih jauh lagi tentangku? Jawab saja iya. Hohoho. Baiklah, aku akan mengajakmu masuk ke kamarku. Eits, tapi kamu nggak boleh macam-macam ya? Harus jawab iya! Nah, masuklah. Kamu lihat? Kamarku tidak begitu besar. Hanya ada sebuah tempat tidur yang berantakan, meja belajar yang juga berantakan di sebelah kanannya, juga sebuah lemari pakaian kecil di sebelah kanannya lagi. Hei, kamu kok tidak mendengarkan penjelasanku? Apa sih, yang menarik perhatianmu dari Sang Putri nan baik hati ini?
            Ah, kamu melihatnya rupanya. Kamu tahu? Salah satu hal yang paling aku sukai dari kamarku ini selain buku harianku adalah ... Yah, jendela itu. Kamu bisa melihatnya juga, kan? Dari sini kamu bisa memandang bintang yang berkelip di atas sana dengan leluasa. Nah, lihat di sebelah utara sana! Kamu tahu apa itu namanya? Ahaha aku tahu, kamu pasti tahu. Kamu benar, itu polaris. Bintang utara. Yang paling terang ... Bintang yang selalu dapat kamu lihat di langit utara pada malam hari. Kapanpun, dimanapun. Jadi, dia nggak akan pernah hilang darimu. Kamu pasti senang juga kan, kalau punya sesuatu yang bisa selalu menemani kamu? Hhh. Nggak kayak orang bego itu! Kamu tahu nggak, sih? Dia dengan seenaknya saja pergi dari hidupku tanpa pamit dulu padaku. Astaga. Kalau saja aku tahu dia akan pergi, mungkin aku akan lebih dulu memukul hidung mancungnya itu sampai berdarah. Aku sungguh-sungguh.
            Kusebut orang bego itu Pangeran Bintang. Nama aslinya? Oh, tidak tidak. Biarkan namanya aku simpan  untukku sendiri. Maaf, ya. Hehehe. Kamu lihat beranda rumah bertingkat di seberang kanan jendela ini, bukan? Ya, benar. Yang pojok itu, lho. Disana dia biasanya menatap ke langit yang sama denganku. Hahaha. Iya, kamu benar lagi. Kami melihat polaris. Ternyata, kami memang menyukai hal yang sama: bintang. Jarak kami memang cukup jauh. Saat tak sengaja kami bertatap muka, aku selalu tersipu. Dan dia selalu memamerkan senyumnya yang manis padaku. Sejak itu, hehehe ... Kamu bisa menebaknya sendiri, bukan?
            Waktu sungguh cepat berlalu ketika aku bersamanya. Kami mengobrol bersama, bersepeda keliling kota suka-suka, mengupil, saling mengejek, menertawai gambarku yang menurutku sudah keren banget, duduk-duduk di bangku taman favorit kami, dan tentu saja menatap polaris. Wajahnya selalu berbinar-binar ketika menatap bintang itu. Dia selalu bersinar. Dia Pangeran Bintangku.
            “Pus, kalo kamu kesepian, lihat polaris aja. Aku akan melihatmu dari sana,” katanya waktu itu. Yah, mana aku tahu apa maksudnya mengatakan hal kayak begitu.
            “Hah? Kamu ini ngomong apaan? Aku nggak akan kesepian. Kan ada kamu,” timpalku sambil tersenyum. Dia tertawa renyah lalu mengusap-usap kepalaku. Dia satu-satunya orang yang kupercaya nggak akan hilang dari aku.
            Waktu aku sakit, dia ada. Waktu orangtuaku bertengkar dan membuatku menangis, dia juga ada. Waktu Ayah marah ketika Ibu memukulku, dia yang menenangkan aku. Waktu akhirnya aku jadi anak broken home karena orangtuaku bercerai, dia yang menghiburku. Dia yang selalu ada waktu aku butuh, bahkan dia selalu ada buatku waktu aku lagi nggak butuh dia sekalipun. Hehehe. Aku bercanda kok. Aku selalu butuh dia. Selalu. Dia yang nggak pernah berubah meskipun orang-orang datang dan pergi dari hidupku. Seperti polaris, dia selalu disana. Nggak pernah berubah. Nggak pernah pergi, dan tetap bersinar.
            “Jadi, kamu putus lagi dari pacarmu?”
            “Begitulah ....” Jawabku sekenanya. Kami melihat polaris dari sebuah lapangan di samping rumahnya. Waktu itu tengah malam.
            “Hahaha! Pus, Pus! Daftar nama mantan cowokmu itu sudah lebih panjang dari namamu, tahu. Sebaiknya kamu segera memutuskan mana yang cocok untukmu”
            “Ya sudah, aku memilih kamu saja,” kataku asal. Asal nyeplos tapi aku deg-degan banget waktu itu. Kamu kan tahu sendiri, aku sangat menyukainya.
            “Kamu ini ngomong apaan sih, Pus? Kamu tahu dari dulu aku nggak mungkin sama kamu”
            “Kenapa sih, kamu ngomong gitu lagi?! Aku bisa menerimamu apa adanya! Aku nggak peduli kamu terserang HIV atau apalah itu. Nyatanya kamu sekarang masih sehat-sehat aja, kan?” Aku memperhatikan tubuhnya yang jauh lebih kurus dari beberapa bulan yang lalu. Menurutku, itu cukup sehat.
            “Kamu nggak tahu, Pus,” kata cowok itu sendu. Wajahnya nggak lagi bersinar. Wajah itu redup. Ketika aku melihat polaris untuk mengalihkan perhatianku, ia tertutup oleh awan.
            “Kamu yang nggak tahu,” kataku. Kamu nggak tahu betapa kamu sangat berarti buat aku. Sekarang aku cuma punya kamu, dan polaris mungkin. Aku udah sakit kehilangan keluargaku. Aku nggak mau lebih sakit lagi karena kehilangan kamu. Air mataku mengalir pelan. Dia menyekanya lembut.
            “Mata kamu yang sebening embun ini nggak boleh meneteskan air mata,” katanya pelan. Ia berusaha tersenyum. Dasar bego! Aku tahu dia hanya pura-pura. “Awas saja kalau kamu nangis lagi. Aku mengawasimu, Pus. Dari atas sana,” dia melirik polaris. Aneh, sekarang bintang itu terang lagi,”Disana juga ada cita-citamu. Gapailah! Semangatlah! Aku tahu kamu bisa. Kamu kuat, Pus! Aku mengenalmu nggak cuma sehari dua hari”
            “Ini wasiatmu sebelum mati, ya?” Kamu tahu apa yang dia lakukan setelah mendengar pertanyaanku itu? Hahaha. Dia tertawa, lalu menjawab,”Ya”
            “Berjanjilah kamu akan berjuang di operasi besok!”
            “Hahaha. Tentu saja aku akan berjuang, Pus. Tenang aja. Kayak kamu nggak kenal aku aja,” dasar orang bego! Sedang sakit masiih aja bercanda.”Aku akan hidup. Buat kamu, Pus.” Kali ini wajahnya memancarkan kesungguhan. Aku merasa tenang mendengarnya.
            Kamu pasti bisa menebak akhir ceritaku, bukan? Oh yeah! Pangeran Bintangku nggak bisa melewati masa kritis. Aku selalu berusaha menganggap HIV yang menyerangnya adalah guyonan belaka. Entahlah, selama ini aku selalu yakin dia akan baik-baik aja. Ternyata nggak, ya?
            Setelah sekian lama jendela ini kututup, kini aku membukanya lagi. Selama ini aku terlalu takut menerima kenyataan bahwa dia telah kembali padaNya. Aku bahkan takut melihat bintang favorit kami sekarang. Aku takut mengingatnya. Tapi, hatiku sungguh sakit ketika aku menjauhkan diri dari hal-hal yang kami sukai dulu. Pada akhirnya aku sadar, nggak seharusnya aku terus-menerus bersedih memikirkan dan berusaha melupakannya. Ini sama sekali nggak bikin keadaan membaik. Kamu lihat, aku sudah merasa lebih baik sekarang dengan menceritakan semuanya padamu. Dia, Pangeran Bintangku itu nggak akan pernah pergi. Aku nggak mau dia benar-benar mati kalau aku melupakannya. Jadi, meskipun sekarang dia udah nggak ada, bagiku dia akan selalu hidup di hatiku. Yah, begitulah. Untuk selanjutnya, aku akan selalu tersenyum ketika melihat polaris. Karena pada bintang itu ada banyak kenangan manis tentang kami berdua. Karena disitu ada Pangeran Bintangku.
             Hei! Sudah jam berapa ini? Kau sudah harus pulang, bukan? Aku pasti akan dibunuh ibumu kalau menahanmu lebih lama lagi disini. Nah, keluarlah dari kamarku. Hush, hush! Hahaha. Hati-hati ya? Perhatikan langkahmu. Di kesempatan lain, aku pasti akan bercerita lagi padamu! Sampai jumpa!

The raindrops
The tears keep falling
I see your face and it keeps me going
If I get lost your light's going to guide me
And I know that you can take me home
You can take me home
(Simple Plan-Take My Hand)

            “Hei, bego ... Aku menyayangimu. Sumpah.”

0 comments:

Post a Comment

Wednesday, April 27, 2011

Pangeran Bintang dan Putri Embun

Posted by Chibinaima at 10:54:00 AM
           Oh, hai! Namaku Putri Embun. Yap. Putri Embun. Ya ampun, jangan melongo begitu, deh! Oke oke, kalau kamu masih aneh mendengar namaku yang asoy itu, aku kenalkan nama asliku ya? Namaku Puspitaning Ayu Putri Kedaton. Oh God. Kamu sungguh keterlaluan! Jangan menertawaiku seperti itu, dong ... Itu benar-benar nama asliku, tahu! Karena namaku kayaknya terlalu panjang (dan eksotik), kamu boleh memanggilku dengan Putri Embun. Lebih enak diucapkan, didengarkan, dan dirasakan bukan? Hohoho.
            Nah, kamu mau tahu lebih jauh lagi tentangku? Jawab saja iya. Hohoho. Baiklah, aku akan mengajakmu masuk ke kamarku. Eits, tapi kamu nggak boleh macam-macam ya? Harus jawab iya! Nah, masuklah. Kamu lihat? Kamarku tidak begitu besar. Hanya ada sebuah tempat tidur yang berantakan, meja belajar yang juga berantakan di sebelah kanannya, juga sebuah lemari pakaian kecil di sebelah kanannya lagi. Hei, kamu kok tidak mendengarkan penjelasanku? Apa sih, yang menarik perhatianmu dari Sang Putri nan baik hati ini?
            Ah, kamu melihatnya rupanya. Kamu tahu? Salah satu hal yang paling aku sukai dari kamarku ini selain buku harianku adalah ... Yah, jendela itu. Kamu bisa melihatnya juga, kan? Dari sini kamu bisa memandang bintang yang berkelip di atas sana dengan leluasa. Nah, lihat di sebelah utara sana! Kamu tahu apa itu namanya? Ahaha aku tahu, kamu pasti tahu. Kamu benar, itu polaris. Bintang utara. Yang paling terang ... Bintang yang selalu dapat kamu lihat di langit utara pada malam hari. Kapanpun, dimanapun. Jadi, dia nggak akan pernah hilang darimu. Kamu pasti senang juga kan, kalau punya sesuatu yang bisa selalu menemani kamu? Hhh. Nggak kayak orang bego itu! Kamu tahu nggak, sih? Dia dengan seenaknya saja pergi dari hidupku tanpa pamit dulu padaku. Astaga. Kalau saja aku tahu dia akan pergi, mungkin aku akan lebih dulu memukul hidung mancungnya itu sampai berdarah. Aku sungguh-sungguh.
            Kusebut orang bego itu Pangeran Bintang. Nama aslinya? Oh, tidak tidak. Biarkan namanya aku simpan  untukku sendiri. Maaf, ya. Hehehe. Kamu lihat beranda rumah bertingkat di seberang kanan jendela ini, bukan? Ya, benar. Yang pojok itu, lho. Disana dia biasanya menatap ke langit yang sama denganku. Hahaha. Iya, kamu benar lagi. Kami melihat polaris. Ternyata, kami memang menyukai hal yang sama: bintang. Jarak kami memang cukup jauh. Saat tak sengaja kami bertatap muka, aku selalu tersipu. Dan dia selalu memamerkan senyumnya yang manis padaku. Sejak itu, hehehe ... Kamu bisa menebaknya sendiri, bukan?
            Waktu sungguh cepat berlalu ketika aku bersamanya. Kami mengobrol bersama, bersepeda keliling kota suka-suka, mengupil, saling mengejek, menertawai gambarku yang menurutku sudah keren banget, duduk-duduk di bangku taman favorit kami, dan tentu saja menatap polaris. Wajahnya selalu berbinar-binar ketika menatap bintang itu. Dia selalu bersinar. Dia Pangeran Bintangku.
            “Pus, kalo kamu kesepian, lihat polaris aja. Aku akan melihatmu dari sana,” katanya waktu itu. Yah, mana aku tahu apa maksudnya mengatakan hal kayak begitu.
            “Hah? Kamu ini ngomong apaan? Aku nggak akan kesepian. Kan ada kamu,” timpalku sambil tersenyum. Dia tertawa renyah lalu mengusap-usap kepalaku. Dia satu-satunya orang yang kupercaya nggak akan hilang dari aku.
            Waktu aku sakit, dia ada. Waktu orangtuaku bertengkar dan membuatku menangis, dia juga ada. Waktu Ayah marah ketika Ibu memukulku, dia yang menenangkan aku. Waktu akhirnya aku jadi anak broken home karena orangtuaku bercerai, dia yang menghiburku. Dia yang selalu ada waktu aku butuh, bahkan dia selalu ada buatku waktu aku lagi nggak butuh dia sekalipun. Hehehe. Aku bercanda kok. Aku selalu butuh dia. Selalu. Dia yang nggak pernah berubah meskipun orang-orang datang dan pergi dari hidupku. Seperti polaris, dia selalu disana. Nggak pernah berubah. Nggak pernah pergi, dan tetap bersinar.
            “Jadi, kamu putus lagi dari pacarmu?”
            “Begitulah ....” Jawabku sekenanya. Kami melihat polaris dari sebuah lapangan di samping rumahnya. Waktu itu tengah malam.
            “Hahaha! Pus, Pus! Daftar nama mantan cowokmu itu sudah lebih panjang dari namamu, tahu. Sebaiknya kamu segera memutuskan mana yang cocok untukmu”
            “Ya sudah, aku memilih kamu saja,” kataku asal. Asal nyeplos tapi aku deg-degan banget waktu itu. Kamu kan tahu sendiri, aku sangat menyukainya.
            “Kamu ini ngomong apaan sih, Pus? Kamu tahu dari dulu aku nggak mungkin sama kamu”
            “Kenapa sih, kamu ngomong gitu lagi?! Aku bisa menerimamu apa adanya! Aku nggak peduli kamu terserang HIV atau apalah itu. Nyatanya kamu sekarang masih sehat-sehat aja, kan?” Aku memperhatikan tubuhnya yang jauh lebih kurus dari beberapa bulan yang lalu. Menurutku, itu cukup sehat.
            “Kamu nggak tahu, Pus,” kata cowok itu sendu. Wajahnya nggak lagi bersinar. Wajah itu redup. Ketika aku melihat polaris untuk mengalihkan perhatianku, ia tertutup oleh awan.
            “Kamu yang nggak tahu,” kataku. Kamu nggak tahu betapa kamu sangat berarti buat aku. Sekarang aku cuma punya kamu, dan polaris mungkin. Aku udah sakit kehilangan keluargaku. Aku nggak mau lebih sakit lagi karena kehilangan kamu. Air mataku mengalir pelan. Dia menyekanya lembut.
            “Mata kamu yang sebening embun ini nggak boleh meneteskan air mata,” katanya pelan. Ia berusaha tersenyum. Dasar bego! Aku tahu dia hanya pura-pura. “Awas saja kalau kamu nangis lagi. Aku mengawasimu, Pus. Dari atas sana,” dia melirik polaris. Aneh, sekarang bintang itu terang lagi,”Disana juga ada cita-citamu. Gapailah! Semangatlah! Aku tahu kamu bisa. Kamu kuat, Pus! Aku mengenalmu nggak cuma sehari dua hari”
            “Ini wasiatmu sebelum mati, ya?” Kamu tahu apa yang dia lakukan setelah mendengar pertanyaanku itu? Hahaha. Dia tertawa, lalu menjawab,”Ya”
            “Berjanjilah kamu akan berjuang di operasi besok!”
            “Hahaha. Tentu saja aku akan berjuang, Pus. Tenang aja. Kayak kamu nggak kenal aku aja,” dasar orang bego! Sedang sakit masiih aja bercanda.”Aku akan hidup. Buat kamu, Pus.” Kali ini wajahnya memancarkan kesungguhan. Aku merasa tenang mendengarnya.
            Kamu pasti bisa menebak akhir ceritaku, bukan? Oh yeah! Pangeran Bintangku nggak bisa melewati masa kritis. Aku selalu berusaha menganggap HIV yang menyerangnya adalah guyonan belaka. Entahlah, selama ini aku selalu yakin dia akan baik-baik aja. Ternyata nggak, ya?
            Setelah sekian lama jendela ini kututup, kini aku membukanya lagi. Selama ini aku terlalu takut menerima kenyataan bahwa dia telah kembali padaNya. Aku bahkan takut melihat bintang favorit kami sekarang. Aku takut mengingatnya. Tapi, hatiku sungguh sakit ketika aku menjauhkan diri dari hal-hal yang kami sukai dulu. Pada akhirnya aku sadar, nggak seharusnya aku terus-menerus bersedih memikirkan dan berusaha melupakannya. Ini sama sekali nggak bikin keadaan membaik. Kamu lihat, aku sudah merasa lebih baik sekarang dengan menceritakan semuanya padamu. Dia, Pangeran Bintangku itu nggak akan pernah pergi. Aku nggak mau dia benar-benar mati kalau aku melupakannya. Jadi, meskipun sekarang dia udah nggak ada, bagiku dia akan selalu hidup di hatiku. Yah, begitulah. Untuk selanjutnya, aku akan selalu tersenyum ketika melihat polaris. Karena pada bintang itu ada banyak kenangan manis tentang kami berdua. Karena disitu ada Pangeran Bintangku.
             Hei! Sudah jam berapa ini? Kau sudah harus pulang, bukan? Aku pasti akan dibunuh ibumu kalau menahanmu lebih lama lagi disini. Nah, keluarlah dari kamarku. Hush, hush! Hahaha. Hati-hati ya? Perhatikan langkahmu. Di kesempatan lain, aku pasti akan bercerita lagi padamu! Sampai jumpa!

The raindrops
The tears keep falling
I see your face and it keeps me going
If I get lost your light's going to guide me
And I know that you can take me home
You can take me home
(Simple Plan-Take My Hand)

            “Hei, bego ... Aku menyayangimu. Sumpah.”

0 comments on "Pangeran Bintang dan Putri Embun"

Post a Comment

 

Blog Template by YummyLolly.com